Senin, 28 Agustus 2017

DEWAN MAHASISWA FAKULTAS TARBIAH INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG, TASIKMALAYA (masa khidmat 2017-2018)









FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG.
prodi :
Pendidikan Agama Islam (PAI)
Pendidikan Bahasa Arab (PBA) 
Jalan Muktamar NU XXIX No.1, Cipakat, Cipasung, Singaparna, Cipakat, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat 46417

TAFSIR AYAT-AYAT AL-QUR'AN TENTANG HUBUNGAN MUSLIM DAN NON-MUSLIM

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Al Qur'an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Al Qur`an juga menjadi penjelasan (bayyinaat), dari petunjuk tersebut sehingga kemudian mampu menjadi pembeda (furqaan)-antara yang baik dan yang buruk. Di sinilah manusia mendapatkan petunjuk dari al Qur`an. Manusia akan mengerjakan yang baik dan akan meninggalkan yang buruk atas dasar pertimbangannya terhadap petunjuk al Qur`an tersebut.
Kemampuan setiap orang dalam memahami lafald dan ungkapan Al Qur’an tidaklah sama, padahal penjelasannya sedemikian gemilang dan ayat-ayatnya pun sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna yang zahir dan pengertian ayat-ayatnya secara global, sedangkan kalangan cendekiawan dan terpelajar akan dapat mengumpulkan beberapa makna. Dan diantara cendikiawan kelompok ini terdapat aneka ragam dan tingkat pemahaman. maka tidaklah mengherangkan jika Al-Qur’an melalui pengkajian intensif terutama dalam rangka menafsirkan kata-kata garib (aneh-ganjil) atau mentakwil tarkib (susunan kalimat) dan menterjemahkannya kedalam bahasa yang mudah dipahami.

B.  Rumusan Masalah
1.    Apakah tafsir dari QS. Al- ‘Imran ayat 69?
2.    Apakah tafsir dari QS. Al- ‘Imran ayat 75?
3.    Apakah tafsir dari QS. Al-Baqarah ayat 11-101?

C.  Tujuan
1.    Memaparkan tafsir dari QS. Al- ‘Imran ayat 69.
2.    Memaparkan tafsir dari QS. Al- ‘Imran ayat 75.
3.    Memaparkan tafsir dari QS. Al-Baqarah ayat 11-101.

BAB II
PEMBAHASAN
A.  QS. Al-Imran: 69
(69) وَدَّتْ طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يُضِلُّونَكُمْ وَمَا يُضِلُّونَ إِلا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
Artinya  :”Terjemah Segolongan Ahli Kitab ingin menyesatkan kalian, padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak menyadarinya”.
1.    Tafsir Ibn Katsir
Allah Swt. Memberitakan perihal kedengkian orang-orang Yahudi kepada kaum mukmin dan mereka selalu menginginkan agar kaum mukmin menjadi sesat. Allah memberitakan pula bahwa perbuatan mereka itu justru menjadi senjata makan tuan, sedangkan mereka tidak merasakan bahwa tipu daya diri mereka justru akibat buruknya menimpa diri mereka sendiri.
2.    Tafsir Jalalain
(Segolongan Ahli Kitab hendak menyesatkan kamu padahal mereka hanya menyesatkan diri mereka sendiri)karena dosa kesesatan mereka tertimpa atas mereka, sedangkan orang-orang beriman tak mau menaati mereka (dan mereka tidak menyadari) demikian itu.

B.  QS. Al-Baqarah (2): 75
وَمِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِقِنْطَارٍ يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِدِينَارٍ لَا يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ إِلا مَا دُمْتَ عَلَيْهِ قَائِمًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لَيْسَ عَلَيْنَا فِي الأمِّيِّينَ سَبِيلٌ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Artinya  :”Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan, “Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi.” Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui”.

1.    Tafsir Ibn Katsir
Allah Swt. Memberitakan perihal orang-orang Yahudi, bahwa di antara mereka ada orang-orang yang khianat; dan Allah Swt. Memperingatkan kaum mukmin agar bersikap waspada terhadap mereka, jangan sampai mereka teperdaya, karena sesungguhnya di antara mereka terdapat orang-orang yang disebutkan oleh firman-Nya:
{مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِقِنْطَارٍ}
Ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya senilai satu qintar. (Ali Imran: 75)
Yakni sejumlah harta yang banyak.
{يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ}
Dia mengembalikannya kepadamu. (Ali Imran: 75).
Yaitu barang yang nilainya kurang dari satu qintar jelas lebih ditunaikannya kepadamu.
{وَمِنْهُمْ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِدِينَارٍ لَا يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ إِلا مَا دُمْتَ عَلَيْهِ قَائِمًا}
Dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, dia tidak mengembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya, (Ali Imran: 75)
Maksudnya, terus-menerus menagih dan mendesaknya agar melunasi hakmu. Apabila demikian sikapnya terhadap satu dinar, maka terlebih lagi jika menyangkut yang lebih banyak, maka ia tidak akan mengembalikannya kepadamu.
Dalam pembahasan yang lalu pada permulaan surat ini telah diterangkan makna qintar. Adapun mengenai satu dinar, hal ini sudah dimaklumi kadarnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Amr As-Sukuti, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, dari Ziad ibnul Haisam, telah menceritakan kepadaku Malik ibnu Dinar yang telah mengatakan bahwa sesungguhnya dinar disebut demikian karena merupakan gabungan dari dua kata, yaitu din (agama) dan nar (yakni api).
Menurut pendapat yang lain, makna dinar ialah ‘barang siapa yang mengambilnya dengan jalan yang benar, maka ia adalah agamanya; dan barang siapa yang mengambilnya bukan dengan jalan yang dibenarkan baginya, maka baginya neraka’.
Sehubungan dengan masalah ini selayaknya disebutkan hadis-hadis yang di-ta’liq oleh Imam Bukhari dalam berbagai tempat dari kitab sahihnya. Yang paling baik konteksnya ialah yang ada di dalam Kitabul Kafalah. Imam Bukhari mengatakan:
Bahwa Al-Lais mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ja’far ibnu Rabi’ah, dari Abdur Rahman ibnu Hurmuz Al-A’raj, dari Abu Hurairah r.a., dari Rasulullah Saw. Yang pernah menceritakan: bahwa di zaman dahulu ada seorang lelaki dari kalangan umat Bani Israil berutang sejumlah seribu dinar kepada seorang lelaki lain yang juga dari Bani Israil. Lelaki yang diminta berkata, “Datangkanlah orang-orang yang aku akan jadikan mereka sebagai saksi.” Lelaki yang mengajukan utang berkata, “Cukuplah Allah sebagai saksinya.” Lelaki yang diminta berkata, “Datangkanlah kepadaku seorang penjamin.” Lelaki yang meminta menjawab, “Cukuplah Allah sebagai penjaminnya.” Lelaki yang diminta berkata, “Engkau benar,” lalu ia memberikan utang itu kepadanya sampai waktu yang telah ditentukan. Lelaki yang berutang itu berangkat melakukan suatu perjalanan menempuh jalan laut. Setelah menyelesaikan urusan dan keperluannya, maka ia mencari perahu yang akan ditumpanginya menuju tempat lelaki pemiutang karena saat pembayarannya telah tiba, tetapi ia tidak menemukan sebuah perahu pun. Lalu ia mengambil sebatang kayu dan kayu itu dilubanginya, kemudian memasukkan ke dalamnya uang seribu dinar berikut sepucuk surat yang ditujukan kepada pemiliknya, lalu lubang itu ia tutup kembali dengan rapat. Ia datang ke tepi laut, lalu berkata, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku telah berutang kepada si Fulan sebanyak seribu dinar. Lalu ia meminta saksi kepadaku, maka kujawab bahwa cukuplah Allah sebagai saksinya. Ia meminta kepadaku seorang penjamin, lalu kujawab bahwa cukuplah Allah sebagai penjaminnya. Ternyata dia rida dengan-Mu. Sesungguhnya aku telah berupaya keras untuk menemukan sebuah perahu untuk mengirimkan pembayaran ini kepadanya, tetapi aku tidak mampu menemukannya. Sesungguhnya sekarang aku titipkan pembayaran ini kepada-Mu.” Kemudian ia melemparkan kayu itu ke laut hingga kayu itu terapung-apung di atasnya. Setelah itu ia pergi seraya mencari perahu untuk menuju tempat pemiutang. Lalu lelaki yang memiliki piutang itu keluar melihat-lihat, barangkali ada perahu yang datang membawa hartanya. Ternyata ia menemukan sebatang kayu, yaitu kayu tersebut yang di dalamnya terdapat hartanya. Lalu ia mengambil kayu itu dengan maksud untuk dijadikan sebagai kayu bakar bagi keluarganya. Tetapi ketika ia membelah kayu itu, tiba-tiba ia menjumpai sejumlah uang dan sepucuk surat. Ketika lelaki yang berutang kepadanya tiba seraya membawa seribu dinar lagi dan berkata, “Demi Allah, aku terus berusaha keras mencari kendaraan yang dapat mengantarkan diriku kepadamu guna membayar utangku kepadamu, ternyata aku tidak menemukannya sebelum perahu yang membawaku sekarang ini.” Lelaki yang memiliki piutang bertanya, “Apakah engkau telah mengirimkan sesuatu kepadaku?” Ia menjawab, “Bukankah aku telah ceritakan kepadamu bahwa aku tidak menemui suatu perahu pun sebelum perahu yang membawaku sekarang.” Lelaki yang memiliki piutang berkata, “Sesungguhnya Allah telah menunaikan (melunaskan) utangmu melalui apa yang engkau kirimkan di dalam kayu itu.” Maka si lelaki yang berutang itu pergi membawa seribu dinarnya dengan hati lega.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari di salah satu tempat dari kitabnya dengan sigat jazm, sedangkan di lain tempat dari kitab sahihnya ia sandarkan hadis ini dari Abdullah ibnu Saleh, juru tulis Al-Lais, dari Lais sendiri.
Imam Ahmad meriwayatkannya di dalam kitab musnadnya seperti ini dengan kisah yang panjang lebar dari Yunus ibnu Muhammad Al-Muaddib, dari Lais dengan lafaz yang sama.
Al-Bazzar meriwayatkannya di dalam kitab musnadnya dari Al-Hasan ibnu Mudrik, dari Yahya ibnu Hammad, dari Abu Uwwanah, dari Umar ibnu Abu Salamah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. Dengan lafaz yang semisal. Kemudian ia mengatakan bahwa tidak diriwayatkan dari Nabi Saw. Kecuali dari segi dan sanad ini. Demikianlah menurutnya, tetapi ia keliru, karena adanya keterangan di atas tadi.
2.    Tafsir Jalalain
 (Di antara Ahli Kitab ada orang yang apabila kamu percayakan kepadanya harta yang banyak) atau berharga(maka dikembalikan kepadamu) disebabkan sifat amanatnya. Misalnya Abdullah bin Salam yang mendapat amanat atau titipan dari seorang laki-laki sebanyak 1200 ukiah emas, maka dipenuhinya amanat itu dengan sebaik-baiknya. (Dan di antara mereka ada pula yang jika kamu percayai dengan satu dinar, maka tidak dikembalikannya)karena sifat ikhlasnya (kecuali jika kamu selalu menagihnya) tidak meninggalkannya. Apabila kamu meninggalkannya, maka titipan tadi tidak diakuinya, misalnya Kaab bin Asyraf yang diberi amanat oleh seorang Quraisy sebanyak satu dinar, maka tidak diakuinya. (Yang demikian itu) artinya sikap tak mau membayar itu(bahwa mereka berkata) artinya disebabkan perkataan mereka ("Tidak ada terhadap kami mengenai orang-orang buta huruf) maksudnya orang Arab (tuntutan) atau dosa." Sebabnya karena mereka menghalalkan menganiaya orang-orang yang berlainan agama dengan mereka dan pengakuan itu mereka nisbatkan pula kepada Allah swt. Firman Allah: ("Mereka berkata dusta terhadap Allah") maksudnya dalam menisbatkan penghalalan itu kepada-Nya (padahal mereka mengetahui) bahwa mereka berdusta. 
C.  QS. Al-Baqarah: 100-101
 أَوَكُلَّمَا عَاهَدُوا عَهْدًا نَبَذَهُ فَرِيقٌ مِنْهُمْ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ (100) وَلَمَّا جَاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ نَبَذَ فَرِيقٌ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ كِتَابَ اللَّهِ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ (101)
Artinya  :100. [Apakah (patut mereka beriman kepada ayat-ayat Allah)! Bukankah setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka mencapakkannya? Bahkan (sebenarnya) sebahagian besar mereka tidak beriman.]
101.[Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (Kitab Suci) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi Kitab Suci (tersebut) melemparkan Kitab Allah ke belakang (punggung)–nya seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah Kitab Allah).]
1.    Tafsir Ibn Katsir
Malik ibnu Saif (seorang Yahudi) mengatakan ketika Rasulullah Saw. telah menjadi utusan Allah dan memperingatkan kepada mereka perjanjian yang diambil oleh Allah atas diri mereka dan apa yang dijanji-kan Allah Swt. kepada mereka sehubungan dengan perkara Nabi Muhammad Saw., "Allah tidak menjanjikan kepada kami tentang Muhammad, dan Dia tidak mengambil janji apa pun atas diri kami." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Patutkah (mereka ingkar kepada ayat-ayat Allah), dan setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka melemparkannya (Al-Baqarah: 100)
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Bahkan sebagian besar dari mereka tidak beriman. (Al-Baqarah: 100) Memang benar, tiada suatu perjanjian pun di muka bumi ini yang mereka lakukan melainkan mereka pasti melanggar dan merusaknya. Mereka mengadakan perjanjian di hari ini, dan besoknya mereka pasti merusaknya.
Menurut As-Saddi, makna la yu-minuna ialah 'mereka tidak beriman dengan apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.'.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Nabaza fariqum minhum"bahwa perjanjian itu dirusak oleh segolongan orang dari kalangan mereka.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa asal makna an-nabaz ialah membuang dan melemparkan. Karena itu anak yang hilang disebut manbuz, yakni diambil dari kata an-nabaz ini, dan disebut pula nabiz bagi buah kurma serta buah anggur yang dimasukkan (dilemparkan) ke dalam air. 
Sehubungan dengan pengertian ini Abul Aswad Ad-Du-ali mengatakan dalam syairnya:
نَظَرْتُ إِلَى عُنْوَانِهِ فَنَبَذْتُهُ ... كَنَبْذِكَ نَعْلًا أَخْلَقَتْ مِنْ نِعَالِكَا
Ketika aku melihat alamat (tempat tinggal)nya, maka aku langsung membuang (melemparkan)nya (jauh-jauh) sebagaimana engkau lemparkan salah satu dari terompahmu yang sudah rusak.
Kaum yang disebut dalam ayat ini dicela oleh Allah Swt. karena mereka merusak perjanjian mereka dengan Allah yang telah disebut sebelumnya, yaitu mereka bersedia memegangnya dan mengamalkan-nya sesuai dengan apa yang sebenarnya. Lebih ironisnya lagi mereka mengiringi hal tersebut dengan kedustaan terhadap Rasul Saw. yang diutus kepada mereka, juga kepada seluruh umat manusia, padahal perihal Rasul tersebut telah termaktub di dalam kitab mereka sifat-si-fat dan ciri-ciri khasnya serta berita-beritanya; dan mereka diperintah-kan di dalamnya agar mengikuti Rasul itu, mendukung, dan menolongnya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوباً عِنْدَهُمْ فِي التَّوْراةِ وَالْإِنْجِيلِ
(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka..., hingga akhir ayat, (Al-A'raf: 157).
Sedangkan dalam surat ini disebutkan: Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang ada pada mereka..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 101).
Yakni segolongan dari kalangan mereka melemparkan kitab yang ada di tangan mereka yang di dalamnya terkandung berita gembira kedatangan Nabi Muhammad Saw. Di dalam ayat ini disebutkan wara-a zuhurihim, di belakang punggung mereka, yakni mereka meninggalkannya seakan-akan mereka tidak mengetahui apa isinya. Sebagai gantinya mereka memusatkan perhatiannya untuk mempelajari sihir serta menjadi pengikutnya. Karena itu, mereka bermaksud mencelakakan Rasulullah Saw. Lalu mereka menyihirnya melalui sisir, buntelan secarik kain, dan ketandan kering pohon kurma yang disimpan di bawah batu di pinggir sumur Arwan. Orang yang melakukan hal ini dari kalangan mereka adalah seorang lelaki yang dikenal dengan nama Labid ibnul A'sam, semoga laknat Allah menimpa dirinya, dan semoga Allah memburukkannya. Maka Allah memperlihatkan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. dan menyembuhkannya serta menyelamatkannya dari sihir tersebut, seperti yang dinyatakan di dalam kitab Sahihain secara panjang lebar dari Siti Aisyah r.a. Ummul Mu’minin, yang hadisnya akan diketengahkan kemudian.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang ada pada mereka. (Al-Baqarah: 101) Ketika Nabi Muhammad Saw. datang kepada mereka, mereka menentangnya dengan kitab Taurat dan mendebatnya, tetapi pada akhirnya kitab Taurat sepaham dengan Al-Qur'an. Lalu mereka meninggalkan kitab Taurat dan mengambil kitab Asif serta sihir Harut dan Marut, karena tidak setuju dengan Al-Qur'an. Karena itu, pada akhir ayat disebutkan: seolah-olah mereka tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 101) 
Qatadah mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Seolah-olah mereka tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 101) Sesungguhnya kaum yang bersangkutan adalah orang-orang yang mengetahui (bahwa Al-Qur'an itu adalah kitab Allah), tetapi mereka menjauhi pengetahuan mereka dan menyembunyikannya serta mengingkarinya.
2.    Tafsir Jalalain
100. (Patutkah) mereka ingkar kepadanya (dan setiap mereka menjanjikan) kepada Allah (suatu janji) akan beriman kepada nabi jika telah dibangkitkan atau menjanjikan kepada nabi tidak akan membantu orang-orang yang musyrik untuk menentangnya (melemparkannya) yakni menjauhkannya (segolongan di antara mereka) yaitu dengan cara melanggarnya. Kalimat ini merupakan jawab dari 'kullamaa' atau setiap dan yang menjadi pertanyaan serta sanggahan (bahkan) lebih dari itu lagi (sebagian besar dari mereka tidak beriman).
101. (Dan tatkala datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah) yakni Muhammad saw. (yang membenarkan kitab yang ada pada mereka, sebagian dari orang-orang yang diberi kitab melemparkan kitab Allah) yakni Taurat(ke belakang punggung mereka) artinya mereka tidak mau mengamalkan isinya berupa keimanan kepada rasul dan lain-lain (seolah-olah mereka tidak mengetahui) akan isinya bahwa beliau adalah nabi yang sebenarnya atau bahwa Taurat itu adalah kitab Allah.


·      Tafsir Ibn Katsir QS. Al-;Imran ayat 69 : Allah Swt. Memberitakan perihal kedengkian orang-orang Yahudi kepada kaum mukmin dan mereka selalu menginginkan agar kaum mukmin menjadi sesat. Allah memberitakan pula bahwa perbuatan mereka itu justru menjadi senjata makan tuan, sedangkan mereka tidak merasakan bahwa tipu daya diri mereka justru akibat buruknya menimpa diri mereka sendiri.
·      Tafsir Jalalain QS. Al-‘Imran ayat 75 : (Di antara Ahli Kitab ada orang yang apabila kamu percayakan kepadanya harta yang banyak) atau berharga(maka dikembalikan kepadamu) disebabkan sifat amanatnya.
·      Tafsir Jalalain QS. Al-Baqarah ayat 100 : (Patutkah) mereka ingkar kepadanya (dan setiap mereka menjanjikan) kepada Allah (suatu janji) akan beriman kepada nabi jika telah dibangkitkan atau menjanjikan kepada nabi tidak akan membantu orang-orang yang musyrik untuk menentangnya (melemparkannya) yakni menjauhkannya (segolongan di antara mereka) yaitu dengan cara melanggarnya. Kalimat ini merupakan jawab dari 'kullamaa' atau setiap dan yang menjadi pertanyaan serta sanggahan (bahkan) lebih dari itu lagi (sebagian besar dari mereka tidak beriman).
·      Tafsir Jalalain QS. Al-Baqarah ayat 101. (Dan tatkala datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah) yakni Muhammad saw. (yang membenarkan kitab yang ada pada mereka, sebagian dari orang-orang yang diberi kitab melemparkan kitab Allah) yakni Taurat(ke belakang punggung mereka) artinya mereka tidak mau mengamalkan isinya berupa keimanan kepada rasul dan lain-lain (seolah-olah mereka tidak mengetahui) akan isinya bahwa beliau adalah nabi yang sebenarnya atau bahwa Taurat itu adalah kitab Allah.


Kitab Suci Al-Qur’anul Kariin
Kitab Tafsir Ibnu Katsir
Kitab Tafsir Al-Jalalain
Al-Qur’an Terjemah



















Segala puji dan rasa syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang senantiasa mencurahkan rahmatnya kepada kita semua. Shalawat dan salam juga senantiasa kiranya penulis limpahkan kepada nabi Muhammad SAW. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen yang bersangkutan yang telah memberikan kesempatan waktu untuk penyelesaian makalah ini dan dengan limpahan rahmat dan karunia Allah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah pada mata kuliah Tafsir 3 yang berjudul “Ayat-ayat Tentang Hubungan Muslim dan Non Muslim” guna untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Tafsir 3.
Penulis meyakini bahwa di dalam penulisan makalah ini tentu masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penulisan maupun penguasaan materi. kami sangat mengharapkan kepada seluruh pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun kemajuan dalam berfikir untuk penulis agar makalah ini dapat dibuat dengan yang lebih sempurna lagi.
Akhirnya kepada Allah juga lah penulis minta ampun, semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan sedikit ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan kita yang sudah ada sebelumnya. Amin.




Tasikmalaya,   Mei 2017

Penyusun



 



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................          i
DAFTAR ISI .............................................................................................          ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.................................................................................          1
B.     Rumusan Masalah............................................................................          1
C.     Tujuan..............................................................................................          1
BAB II PEMBAHASAN
A.    QS. Al-Imran: 69.............................................................................          2
B.     QS. Al-Baqarah (2): 75....................................................................          2
C.     QS. Al-Baqarah: 100-101................................................................          7
BAB III PENUTUP
A.      Kesimpulan.......................................................................................          11
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................          12

ii
 
 
MAKALAH
TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG HUBUNGAN MUSLIM DAN NON MUSLIM
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Tafsir 2



Disusun oleh :
M. Farhan Sahlani

Kelas : Tarbiyah PAI 2D



INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG (IAIC)
FAKULTAS TARBIYAH PAI
2016/2017


ANALISIS FILOSOFIS TENTANG PENDIDIK DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

ANALISIS FILOSOFIS TENTANG PENDIDIK DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Filsafat Pendidikan Islam
   Dosen           : EUIS DEWI WIJAYANTI, S.Pd., M.Pd
 

     

Disusun Oleh              :          
Nama                           : M. Farhan Sahlani
                                    Tingkat/Semester        : IID/IV
                                    Fakultas/Jurusan          : Tarbiyah/PAI

INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG (IAIC)
SINGAPARNA – TASIKMALAYA
2016/2017


KATA PENGANTAR


Alhamdulillah, puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT. Yang telah memberi Penulis kekuatan dan kemudahan dalam menyelesaikan makalah ini sehingga dapat diselesaikan. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam yang berjudul “Analisis Filosofis tentang Pendidik dalam Filsafat Pendidikan Islam”. Namun demikian semoga makalah ini tidak hanya bermanfa’at bagi Penulis namun juga bisa bermanfa’at dan menambah wawasan bagi semua pihak.
Dalam pembuatan makalah ini Penulis tidak terlepas dari berbagai kesulitan karena keterbatasan ilmu dan pengalaman yang Penulis miliki, namun berkat petunjuk Allah SWT, motivasi, bimbingan, serta bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, dengan izin Allah SWT, tugas makalah ini dapat di selesaikan.
            Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu Penulis mengharapkan saran dan kritikan kepada Pembaca demi kesempurnaan makalah ini untuk masa yang akan datang, semoga makalah ini ada manfa’atnya.


Cipasung,  2  Maret 2017
Penulis




BAB I

PENDAHULUAN


Salah satu komponen penting dalam sistem Pendidikan Islam adalah Pendidik. Komponen ini berinteraksi dengan peserta didik dalam proses pembelajaran untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan. Oleh karena itu, pendidik sangat berperan besar sekaligus menentukan ke mana arah potensi peserta didik yang akan dikembangkan.
Konsep pendidik akan membedakan pandangan pendidikan lainnya, tentu semua itu tidak terlepas dari landasan ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang menginginkan perkembangan pendidik tidak bertentangan dengan ajaran kedua landasan tersebut sesuai dengan pemahaman maksimal manusia.
Untuk itu, kajian dan analisis filosofis sangat dibutuhkan dalam merumuskan konsep pendidik dalam perspektif Filsafat Pendidikan Islam sehingga diperoleh pemahaman yang utuh tentang pendidik.
Makalah ini akan menguraikan tentang analisis filosofis tentang pendidik dalam Filsafat Pendidikan Islam. Diharapkan makalah dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang komponen tersebut sehingga berguna dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan secara efektif dan efisien.

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1.      Apa pengertian Pendidik ?
2.      Bagaimana analisis filosofis tentang pendidik dalam Filsafat Pendidikan Islam ?

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui pengertian Pendidik.
2.      Untuk mengetahui analisis filosofis tentang pendidik dalam Filsafat Pendidikan Islam.

BAB II

PEMBAHASAN


Secara etimologi Kata pendidik berasal dari kata dasar didik, yang memiliki arti memelihara,merawat, dan memberi latihan agar seseorang memiliki ilmu pengetahuan seperti yang diharapkan seperti sopan santun, akal budi, akhlak, dan sebagainya. Selanjutnya dengan menambah awalan pe sehingga menjadi pendidik  yang berarti orang yang mendidik.
Pendidik menurut Ahamat Tafsir adalah orang yang bertanggung jawab terhadap berlangsungnya proses pertumbuhan dan perkembangan potensi anak didik, baik itu berupa potensi kognitifnya maupun potensi psikomotoriknya.
Sementara pendidik menurut Imam Barnadib adalah tiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi  orang lain untuk mencapai kedewasaan. Pendidik terdiri dari orang tua,  orang dewasa lain yag bertanggung jawab tentang kedewasaan anak.
Selanjutnya, Ahmad D. Marimba memandang pendidik adalah orang yang memikul pertanggung jawaban untuk mendidik manusia dewasa karena hak dan kewajiban yang bertanggung jawab tentang pendidikan si terdidik
Dalam Undang –Undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 bab 1 pasal 6, dibedakan antara pendidik dengan tenaga pendidikan. Tenaga kependidikan adalah anggota masayarakat yang mengabdikan diri dan di angkat untuk menunjang  penyelenggaraan pendidikan. Sementara pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, fasilitator yang berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan.
Di dalam ilmu pendidikan yang dimaksud pendidik ialah semua orang yang mempengaruhi perkembangan seseorang, yaitu manusia, alam, dan kebudayaan.[1]
Dalam pengertian yang lebih luas pendidik  dalam persfektif pendidikan islam adalah orang yang bertanggung jawab terhadap upaya pertumbuhan jasmani dan perkembangan rohani peserta didik agar dapat menunaikan tugas-tugas kemanusiaan  yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam. Oleh karena itu pendidik dalam konteks ini tidak hanya terbatas pada orang-orang yang bertugas di sekolah saja tetapi semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan anak mulai dari alam kandungan sampai ia dewasa, bahkan sampai meninggal dunia.[2]
Pendidik  merupakan  orang  yang  membimbing  terjadinya   proses pendidikan pada  peserta  didik,  sehingga  pendidik  memiliki  tanggungjawab  terhadap  keberhasilan atau kegagalan pendidik.  Seorang pendidik seyogyanya memiliki kelebihan dari peserta didik,  yang  membuat  peserta  didik  merasa  tergantung,  dan  sangat  membutuhkannya. Menjadi pendidik merupakan fitrah setiap manusia dalam memenuhi tanggungjawabnya sebagai orangtua terhadap anaknya.
Sesuai dengan hal ini,  M. Fadhil Jamil memaknai pendidik sebagai orang yang mengarahkan  manusia  kepada  kehidupan  yang  baik,  sehingga  terangkat  derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia.[3]
Dalam  Islam  terdapat  beberapa  kelompok  pendidik,  yaitu  Allah  SWT.  seperti yang tergambar dalam  surah Al-Baqarah ayat 31 berikut.
20170305171512.png
Artinya : Dan Allah mengajarkan kepada Adam as. nama-nama semua benda yang
ada,  kemudian  ditunjukkannya  kepada  malaikat,  dan  berkata, “Terangkan  kepadaku  nama-nama  semua  benda  ini,  jika  kamu  semua adalah orang yang benar”.
Adapun  pendidik  dalam  Islam  adalah  semua  manusia  dewasa  yang  memiliki tanggungjawab  pendidikan,  yaitu  orangtua  dari  setiap  anak  yang  dilahirkan. Pendidik azasi  dan  sebenar-benar  pendidik  adalah  Allah  SWT.  sebagaimana  Adam  manusia pertama  yang  diciptakan  Allah  SWT.  langsung  dididik  pisik  maupun  mentalnya  oleh Allah SWT. Manusia sebagai pendidik hendaknya tidak lari ketentuan-ketentuan Allah, serta memiliki  sifat-sifat  asmaul  husna  yang  patut  dimiliki  manusia.  Manusia bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk orang lain. Hadits nabi Muhammad saw. berbunyi :
(روه بخاري) كُلُّكُمْ رَاع وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya: “Masing-masing kamu adalah pemelihara, dan setiap pemelihara akan diminta pertanggungjawaban atas peliharaannya”.
Sesuai dengan hal di atas Ramayulis mengklasifikasikan pendidik menjadi beberapa bentuk, yaitu Allah SWT. seperti yang termaktub dalam Al-Quran surah Al-Fatihah ayat 2.
Pendidik  yang  kedua  adalah  Nabi  Muhammad  SAW.  Nabi  Muhammad  SAW. Merupakan  utusan  Allah  yang  merupakan  perpanjangan  tangan  dari  Allah  dalam menyampaikan  ajaran-ajaranNya.  Nabi  menerima  wahyu  dari  Allah  SWT. dan berkewajiban mendidik dan mengarahkan umat manusia ke jalan yang diridhoinya.
Pendidik yang ketiga adalah orangtua.  Orangtua  adalah pendidik di lingkungan keluarga,  karena  secara  alami  anak-anak  pada  masa  awal  kehidupannya  berada  di tengah-tengah ayah dan  ibunya. Dari  merekalah  anak  menerima pendidikan.  Orangtua adalah pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak mula-mula  menerima  pendidikan.  Dengan  demikian  bentuk  pertama  dari  pendidikan terdapat  dalam  kehidupan  keluarga.[4]
Karakteristik  orangtua  sebagai  pendidik  dalam  Al-Quran  digambarkan  seperti sosok Luqman sebagaimana surah Luqman (31) ayat 13 berikut.
               20170105215901.png
Artinya : Dan Ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat memberinya pelajaran, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah itu adalah benar-benar kezaliman yang besar
Zakiyah  Daradjat et al mengemukakan bahwa tanggungjawab pendidikan Islam yang menjadi beban orangtua sekurang-kurangnya harus dilaksanakan  dalam rangka :
1.  Memelihara dan membesarkan anak.
2.  Melindungi dan menjamin kesamaan, baik jasmaniah maupun rohaniah.
3.  Memberi pengajaran dalam arti yang luas.
4.  Membahagiakan anak, baik dunia maupun di akhirat.
Pendidik  keempat  adalah  guru.  Guru  adalah  pendidik  dalam  lemabga-lembaga pendidikan formal. Pada dasarnya guru adalah perpanjangan tangan dari orangtua yang mendapat amanah untuk mendidik anak. Sebagai pemegang amanah, guru bertanggung jawab  atas  amanah  yang  dibebankan  kepadanya,  sebagaimana  surah  An-Nisa  ayat  58 yang berbunyi :
  20170305211409.png
Artinya : “Sesungguhnya  Allah  menyuruh  kamu  menyampaikan  amanah  kepada  yang berhak  menerimanya,  dan  apabila  kamu  menetapkan  hukum  di  antara manusia  maka  tetapkanlah  dengan  adil.  Sesungguhnya  Allah  memberi pengajaran sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat.”
Dalam konteks pendidikan islam, pendidik disebut murabbi, mu’allim, muaddib, mudarris, muzakki, dan ustaz.
a.       Murabbi
Murabbi berakar dari tiga kata pertama dari kata raba, yarbu yang  artinya zad atau nama (bertambah dan tumbuh), kedua dari kata rabiya, yarba yang artinya tumbuh (nasya’) dan menjadi besar (tarara’a), ketiga berasal dari kata rabba, yarubbu yang artinya memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara. Jadi, istilah murabbi sebagai pendidik mempunyai makna yang luas yaitu mendidik peserta didik supaya kemampuannya terus meningkat, memberikan bantuan terhadap peserta didik untuk mengembangkan potensinya, meningkatkan kemampuan peserta didik dari keadaan yang kurang dewasa menjadi dewasa dalam pola pikir, wawasan dan lain sebagainya, memperbaiki sikap dan tingkah laku anak dari yang tidak menjadi lebih baik. Pendidik merupakan orang tua kedua setelah orang tuanya dirumah yang berhak atas perkembangan dan pertumbuhan anak.
b.       Mu’allim
Kata mu’allim memiliki arti pengajar atau orang yang mengajar. Dalam proses pendidikan istilah pendidikan yang kedua yang dikenal sesudah al-tarbiyyat adalah ta’lim. Rasyid rida mengartikan al-ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu. Mu’allim adalah orang yang memiliki kemampuan unggul dibandingkan dibandingkan peserta didik, yang dengannya ia dipercaya mengantarkan peserta didik kearah kesempurnaan dan kemandirian.
c.       Mu’addib
Secara etimologi  mu’addib berasal dari kata addaba yang berarti memberi adab, mendidik.dalam kamus bahasa arab mu’addib mempunyai makna dasar yaitu pertama ta’adib berasal dari kata aduba, ya’dubu yang berarti melatih, mendisiplin untuk berprilaku yang baik dan sopan santun. Kedua berasal dari kata adaba, yadibu artinya mengadakan pesta atau penjamuan yang berarti berbuat dan berprilaku sopan. Ketiga berasal dari kata addaba yang berarti mendidik, melatih, memperbaiki, mendisiplin, dan memberikan tindakan. Sedangkan secara terminologi mu’addib adalah seorang pendidik yang bertugas untuk menciptakan suasana belajar yang dapat menggerakkan peserta didik untuk berprilaku atau beradab sesuai dengan norma-norma, tata susila dan sopan santun yang berlaku dalam masyarakat.
d.       Mudarris
Secara etimologi mudarris berasal dari kata darassa yang berarti mengajar, sementara mudarris berarti guru atau pengajar.  Sedangkan secara terminologi mudarris memiliki arti orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi, serta memperbarui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat dan minat dan kemampuannya.
e.       Mursyi
Secara etimologi berasal dari kata ‘allama yaitu mengajar, sementara mursyid memiliki persamaan  makna dengan al-dalil dan mu’allim yang artinya penunjuk, pemimpin, pengajar dan instruktur. Secara terminologi  adalah  salah satu sebutan pendidik/guru dalam pendidikan islam yang bertugas dalam membimbing peserta didik agar ia mampu menggunakan akal pikirannya secara tepat, dan mencapai kedewasaan berfikir.
f.        Muzakki
Secara etimologi  muzakki berasal dari kata zakka yang berarti nama , berkembang, tumbuh, dan bertambah. Arti lain dari zakka adalah mensucikan, membersihkan,  memperbaiki, dan menguatkan. Tazakka artinya tashaddaq yakni  memberi sedekah, berzakat, menjadi baik dan bersih. Azzakat sama artinya dengan al-thaharat dan al-shadaqat yakni kesucian, kebersihan, zakat. Secara terminologi adalah orang yang membersihkan, mensucikan, sesuatu agar ia menjadi bersih dan terhindar dari kotoran. Apabila dikaitkan dengan pendidikan isla, maka muzakki adalah pendidik yang bertanggung jawab untuk memelihara, membimbing, dan mengembangkan fitrah peserta didik, agar ia selalu berada dalam kondisi suci dalam keadaan taat kepada Allah swt dan terhindar dari perbuatan tercela.
Zakiyah  Daradjat mengemukakan  4  syarat  yang  harus  dimiliki  seorang  guru,
yaitu :
1.    Taqwa  kepada  Allah,  sebab  guru  adalah  teladan  bagi  muridnya  sebagaimana Rasulullah Muhammad SAW. menjadi telah bagi umatnya.
2.    Berilmu, yang dibuktikan dengan adanya ijazah yang dimiliki.
3.    Sehat  jasmani,  karena  profesi  mengajar  memerlukan  tenaga  yang  cukup  besar dalam menghadapi beragam bentuk peserta didik.
4.    Berkelakuan  baik  dan  dapat  memberi  contoh  teladan  bagi  peserta  didik
bagaimana cara berprilaku.


Seorang guru seharusnya memiliki ciri :
1.  Mencintai jabatannya sebagai seorang guru
2.  Bersikap adil terhadap semua murid
3.  Berlaku sabar dan tenang
4.  Berwibawa
5.  Gembira dan menyenangkan
6.  Bersifat menusiawi
7.  Mampu bekerjasama dengan guru-guru yang lain
8.  Dapat bekerjasama dengan masyarakat
Islam memandang perbuatan mendidik sebagai perbuatan yang mulia. Pendidik merupakan  perpanjangan  tangan  Allah  SWT.  dan  Nabi  Muhammad  SAW.  dalam menyebarluaskan  ajaran-ajaran  Allah  di  muka  bumi,  sehingga  setiap  orang  yang mengambil pekerjaan pendidik akan mendapat tsawab (reward) dari Allah, dan sebaikbaik  pendidik  adalah  orang  yang  mengajarkan  Al-Quran,  sebagaimana  hadits  nabi Muhammad SAW.
 من تعلم القرأن وعلمه (رواه بخاري)خيركم
Artinya : “Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al -Quran dan mengajarkannya”.
Kompetensi yang harus dimiliki guru
Menurut Asnawir, ada tiga kompetensi yang harus dimiliki oleh guru yaitu:
a)      Kompetensi dibidang kognitif yaitu kemampuan intelektual yang harus dimiliki oleh seorang guru yang mmeliputi penguasaan materi pelajaran, pengetahuan cara mengajar, tingkah laku individu, pengetahuan tentang administrasi kelas, penilaian cara menilai hasil belajar murid dan pengetahuan umum lainnya.
b)      Kompetensi  bidang sikap yaitu kesiapan dan kesediaan guru terhadap berbagai hal berkenaan dengan tugas dan profesinya meliputi menghargai pekerjaan, mencintai dan memiliki sifat senang terhadap mata pelajaran yang dibinanya, toleransi  dengan sesama, dan memiliki kemauan yang keras untuk mengetahui hasil pekerjaannya.
c)      Kopentensi perlaku yaitu kemampuan seorang pendidik  dalam berbagai keterampilan berprilaku, meliputi keterampilan megajar, membimbing, menggunakan alat bantu pengajaran, bergaul dan berkomunikasi dengan teman untuk menumbuhkan semangat belajar siswa.



















BAB III

PENUTUP


3.1       Kesimpulan

            Pendidik  dalam  Islam  adalah  semua  manusia  dewasa  yang  memiliki tanggungjawab  pendidikan. Seorang  Pendidik  profesional  memiliki  tugas  mengajak  manusia  untuk  tunduk dan patuh pada hukum Allah guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Selain itu  guru  memiliki  tugas  secara  khusus  sebagai  pengajar  (instruktur)  yang  bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun dan penilaian  setelah  program  tersebut  dilaksanakan;  sebagai  pendidik  yang  mengarahkan peseta didik pada tingkat kedewasaan; sebagai pemimpin (manajerial)  yang memimpin dan mengendalikan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat terkait.

3.2       Saran

Demikian makalah ini penulis buat, jika terdapat kesalahan dalam penulisan maupun penyampaiannya, penulis mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca. Atas kritikan dan saran dari pembaca penulis ucapkan terima kasih.


DAFTAR PUSTAKA


1.      Ahmad Tafsir, 2006, Filsafat Pendidikan Islami. Bandung: Remaja Rosdakarya.
2.      Ramayulis Dkk, 2009, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
3.      Daradjat, Zakiyah et al, 1992, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
4.      Ramayulis, 2008, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.























[1] Prof. Dr. Ahmad Tafsir,Filsafat Pendidikan Islami,Bandung,  Remaja Rosdakarya, 2006, hlm. 170.
[2] Ramayulis, Dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:kalam mulia.2009), h. 138
[3] Dikutip dari Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 2008, hlm. 58.
[4] Zakiyah Daradjat et al, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1992, hlm. 35.