MAKALAH USHUL FIQIH
MUSYTARAK
Di susun oleh :
Muhammad Farhan Sahlani
Kelas : TARBIYAH/PAI II D
Dosen Pengampu : Nur syamsyi.,
S.Hi., M.Ag
INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG
JLN. MUKHTAMAR NU XIXIX NO. 1
CIPASUNG SINGAPARNA KAB. TASIKMALAYA
TAHUN 2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua khususnya kepada pembuat
makalah ini, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini guna melengkapi tugas
salah satu mata kuliah yang saat ini kami tempuh.
Kami sampaikan terima kasih kepada orang tua, dosen, teman-teman,
dan semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu yang telah
menyumbangkan energi dan pikirannya dalam penyusunan makalah ini sehingga bisa
tersusun dengan waktu yang telah di tentukan.
Kami sebagai penyusun makalah yang berjudul “Mustarak” ini
sangat menyadari adanya kekurangan yyang termuat dalam makalah, tak ada kata
sempurna tertera pada makalah ini karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT.
Semoga hadirnya makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca khususnya
mahasiswa Institut Agama Isalm Cipasung.
Penulis
Cipasung, 8Maret 2017
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................ i
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
LATAR BELAKANG........................................................................................................ 1
RUMUSAN MASALAH ................................................................................................... 1
TUJUAN PENULISAN..................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 2
PENGERTIAN MUSYTARAK......................................................................................... 2
SEBAB-SEBAB TIMBUL NYA MUSYTARAK............................................................. 2
HUKUM LAFADZ MUSYTARAK DAN DALALAH NYA.......................................... 3
PENUTUP .......................................................................................................................... 4
KESIMPULAN .................................................................................................................. 4
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 5
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Ilmu
ushul fiqh sebenarnya merupan ilmu yang tdak bisa diabaikan oleh seorang
Mujtahid dalam upayanya member penjelsan mengenai nash-nash syariat ialam dan
dalam menggali hukum islam yng tidak terdapat nash padanya. Ia juga merupakan
ilmu yang diperlukan bagi seorang Hakim (Qadhi) dalam usaha memahami materi
secara sepurna.
Kaidah-kaidah
pokok bahasa juga dibahas dalam ilmu ushul fiqh. Dalam bagian ini tampaknya
ketelitian untuk para pengaji untuk memahami nash-nash, dan ketelitian bahasa
arab dalam dalalahnya kpada beberapa makna yang dikandungnnya.
Dengan adananya kemampuan ini para ualam syariat dapat menggali
hukum-hukum syariat islam dari beberapa nashnya yng meskipun mempunyai makna
yang ganda. Dan dapat menghilangkan kesulitan-kesulitan tersebut dalam rangka
menjelaskan tenteng hukum-hukum syariat islam, walaupun mempuanyai arti yang
ganda atau bahkan lebih banyak.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
pengertian lafadz musytarak ?
2.
Bagaimana
sebab timbulnya lafadz musytarak ?
3.
Bagaimana
hukum lafadz musytarak dan dalalahnya?
C.
TUJUAN PENULISAN
1.
Agar
dapat mengetahui Pengertian Musytarak Wa Dilalatuhu.
2.
Agar
dapat mengetahui Penyuguhan dan Menganalisa contoh-contoh Musytarak.
3.
Agar
dapat mengetahui Dalalah Musytarak
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN MUSTARAK
Al-Musytarak adalah sebuah lafadz yang mempunyai arti banyak dengan
kegunaan yang banyak pula. Seperti lafadz (السنة ) (tahun) yang bisa
berarti tahun hijriah atau miladiyah. Lafadz ( اليد ) (tangan) yang bisa berarti tangan kanan dan juga bisa berarti
tangan kiri.
Al-musytarak juga bisa berarti suatu lafadz yang mempunyai dua arti
atau lebih dengan kegunaan yang banyak yang dapat menunjukkan arti ini atau
arti itu. Seperti lafadz ( العين ) yang bisa berarti
mata, sumber mata air, dan reserse (mata-mata).
Musytarak adalah suatu lafadz yang mempunyai dua arti yang
sebenarnya dan arti-arti tersebut berbeda-beda. Apabila arti yang sebenarnya
hanya satu dan yang lain majaz, maka tidak tidak dikatakan musytarak. Umumnya
ulama ushul, menepatkan lafadz musytarak ini pada kelompok al-khash, dan
al-‘am yaitu dilihat dari segi penetapan lafadz bagi suatu makna.
Adapun yang dimaksud dengan lafadz musytarak sebagai mana
dijelaskan oleh Abu Zahra adalah ;
Musytarak ialah suatu lafadz yang menunjukan kepada pengertian
ganda atau lebih dengan penggunaan berbeda.
Lafadz disebut musytarak disyaratkan dua hal yaitu : terdapat
beberapa penerapan suatau lafadz dab juga terdapat pengertian dari lafadz
diterapkan dua kali atau lebih untuk dua pengertian atau lebih.
Istirak atau persekutuan makna terjadi dengan banyaknya makna yang
ditetapkan pada lafadz dengan penetaapan yang beragam, sedangkan keumuman
terjadi dengan dalalah lafadz terhadap liputan seluruh sataun-satuan yang
mengenainya tanpa suatau pembatasan, sementara krkhususan terjadi dengan dalalah
lafadzterhadap suatu atau sejumlah satuan yang terbatas yang mengenainya tanpa
keseluruhan
Jadi, lafadz musytarak dapat diartikan lafadz yang diletakan untuk
dua makna atau lebih dengan peletakan nag bermacam-macam, diman lafadz itu
menunjukan makna yang ditetapkan secara bergantian, artinya lafadz itu
menunjukan makna ini atau makna itu. Sebagaimana lafadz ain ditetapkan menurut
bahasa untuk pandangan, untuk mata air yang bersumber, dan mata-mata. Lafadz
al-quru ditetapkan dalsm bahasa, untuk pengertian suci dan haidh.
Ketika kita menjumpai suatu lafdz dalam Al-Quran dan ditemukan
pemaknaan yang berbeda dari referensi satu dengan referensi yang lain maka
lafadz tersebut teramsuk lafadz musytarak. Untuk memilih makna lafadz yang
lebih sesuai dengan lafadz yang lebih
sesuai dengan lafadz tersebut maka jalan yang lebih utamaadalah mengambil
pemaknaansecara syar’I bukan lugowi, yang akan diuraikan lebih mendalam.
B.
SEBAB – SEBAB TIMBUL NYA MUSYTARAK
Sebab-sebab adanya lafadz musytarak dalam bahsa banyak sekali,
diantaranya yang terpenting ialah perbedaan kabialh dalam mempergunakan lafadz
untuk menunjukan kepada beberapa makna. Sebagian kabilah memutlakan lafadz yad
pada seluruh hasta sebagian kabilah yang lai memutlakan lafadz yad pada pada lengan dan telapak tangan. Dan
sebagian kabilah yang lain memutlakannya pad atelapak tangan secara khusus.
Selanjutnya para ulama mengutip bahasa menetapkan bahwasanya tangan dalam
bahasa arab adalah lafadz musytarakantara pengertian yang tiga tersebut. Dimana
sebabnya lagi ialah penetapan suatu lafadz itu diperguanakan tidak pada
pebnetapannya secara majas
Apapun yang menjadi sebab persekutuan makna dalam lafadz menurut
bahasa, maka sesungguhnya lafadz yang musytarak antara dua makna atau lebih
tidaklah sedikit didalam bahasa, dan terdapat dalam nash-nash syar’iyyah, baik
ayat-ayat Al-Quran maupun hadits Rasulullah.
Timbulnya lafadz musytarak :
·
Perbedaan
beberap suku di dalam lafadz-lafadz untuk menunjukkan beberapa arti. Suku
bangsa arab terdiri dari dua golongan yaitu golongan Adnan dan golongan Qathan.
Masing-masing golongan ini terdiri dari suku yang bermacam-macam dan dusun yang
terpencar-pencar yang berbeda-beda tempat dan lingkungannya. Kadang-kadang suatu
suku membikin nama untuk suatu pengertian. Kemudian suku lain menggunakan nama
tersebut untuk sesuatu pengertian lainnya yang tidak dimaksud oleh suku
pertama. Kadang-kadang antara kedua pengertian itu tidak ada sangkut pautnya.
Tatkala bahasa Arab diambil orang lain dan dibukukan kedua pengertian itu
diambil begitu saja tanpa memperhatikan hubungannya dengan suku yang
membikinnya semula. Misalnya sebagian suku mengartikan ( اليد ) dengan keeseluruhan hasta (tangan), yang lain mengartikan ( اليد ) dengan lengan tangan atau tapak tangan. Dan yang lain lagi
mengartikan dengan tapak tangan saja. Maka para ahli bahasa menetapkan bahwa ( اليد ) menurut bahasa Arab adalah lafadz yang mempunyai tiga arti
yaitu lafadz yang digunakan untuk arti secara hakikat, kemudian digunakan untuk
arti lain secara majaz.
·
Antara
kedua pengertian terdapat arti dasar yang sama. Karenannya, satu lafal bisa
digunakan untuk kedua pengertian tersebut. Inilah yang disebut isytirak ma’ani
(persekutuan batin ). Kadang-kadang lantas orang melupakan arti yang dapat
mengumpulkan kedua pengertian tersebut, dan disangkanya hanya isytirak lafzi
(persekutuan) lafal saja. Sebagaimana lafal qur’un yang artinya semula ialah
waktu tertentu. Karennya malaria disebut
qur’un, karena mempunyai waktu yang tertentu. Orang perempuan dikatakan
mempunyai qur’un sebab ia mempunyai datang bulan yang tertentu dan waktu suci
yang tertentu. Arti dasar yang menghubungkan berbagai-bagai pengertian qur’un
ialah waktu yang tertentu (isytirak
ma’nawi). Tetapi arti yang menghuungkan arti ini kemudian dilupakan, sehingga
tidak dikenal hubungannya suci dan datang bulan dan dinamaknnya isytirak lafzi.
·
mula-mula
sesuatu lafal digunakan untuk sesuatu arti, kemudian berpindah kepada arti yang
lain dengan jalan majaz, karena adannya ‘alaqah (hubungannya). Alaqah ini
dilupakan dan kemudian hilang maka disangka kata tersebut digunakan untuk kedua
arti yang sebenarnya (haqiqi) tanpa mengetahui adannya alaqah tersebut.
C.
HUKUM LAFADZ MUSYTARAK DAN DALALAH NYA
Maksud dari pada
syari’at ialah agar kita beramal menurut ketentuan arti
lafal-lafal yang datang daripadanya. Lafal Musytarak tidak dapat menunjukkan
salah satu artinya yang tertentu. (dari arti-arti lafal musytarak) selama tidak
ada hal-hal (qarinah) yang menjelaskannya. Apabila ada lafal musytarak
tanpa penjelasan, padahal yang dikehendaki oleh salah satu artinya maka dengan
sendirinya lafal musytarak tersebut ditinggalkan. Sebab tidak mungkin kita bisa
beramal sesuai dengan petunjuknya (lafal musytarak) selama kita tidak mengetahui
maksud sebenarnya. Berhubung dengan itu, tiap-tiap lafal musytarak yang datang
dari syari’at tentu disertai qarinah, baik qawliah (perkataan) atau haliyah
(keadaan/suasana).
Contoh:
وَالْمُطَلٌقَاتُ يَتَرَبَّصُنَ بِاَنْفُسِهِيْنَ ثَلَاثَةُ قُرُؤٍ
(Al
Baqarah228) البقرة
Artinya: Isteri-isteri yang diceraikan, hendaklah berdiam diri (beribadah)
tiga kali suci.
Lafal Qur’un mempunyai dua arti, yaitu datang bulan (haid) dan suci. Mana yang
dikehendaki ayat tersebut dari kedua arti ini. Yang dikehendaki ialah datang
bulan menurut satu pendapat. Keterangannya adalah sebagai berikut:
Sebagaimana yang
telah diterangkan diatas, bahwa arti qur’un semula ialah waktu yang tertentu.
Waktu yang tertentu hanya terdapat dalam hal-hal yang bergiliran, yang datang
kepada keadaan yang asal (pokok). Maka yang bergiliran disini tidak hanya lain
hanya datang bulan, sebab suci adalah keadaan yang asal. Dapat pula ditambahkan
keterangannya:
·
Maksud ‘Iddah
ialah untuk mengetahui tentang tidak adannya kandungan. Tidak adannya kandungan
hanya dapat diketahui dengan adannya datang bulan.
·
Qur’an tidak bisa
menyebutkan hal-hal yang kurang baik di dengar.
Dari contoh di atas
kita mengetahui bahwa yang dimaksud lafal Musytarak di sini hanya satu arti
saja. Qarinah di sini ialah haliyyah (keadaan).
Contoh lain :
Kata yad
(tangan) dalam firman Allah SWT:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا
اَيْدِيَهُمْ )
المعدة : 38(
Artinya:
“laki-laki yang mencuri dan wanita yang mencuri, potonglah
tangan keduannya “ (QS Al-Maidah: 38)
Kata tersebut
adalah musytarak antara dzira’ (dari ujung jari hingga ujung bahu),
antara telapak tangan dan lengan (dari ujung jari sampai dengan siku) dan
antara tangan kiri dan kanan. Jumhur mujtahid beristidlal dengan sunnah
amaliyyah untuk menentukan yang dimaksud dengan tangan ayat itu, yakni dari
ujung jari sampai dengan dua pergelangan pda tangan kanan.
Tidaklah sah menghendaki suatu lafadz musytarak dengan dua makna atau lebih
secara sekaligus, sekiranya hukum yang ada dalam satu waktu, karena sebenarnya
suatau lafadz tidaklah dikehandaki oleh syar’I kecuali pada satu makna saja
dari beberapa maknanya, penetapannya untuk beberapa makna hanyalah dalam rangka
pertukaran makna, artinya bahwa lafadz itu adakalanya menunjukan arti itu.
Demikian pula halnya dalam nash perundang-undangan hukum positif, apabila
lafadz musytarak di dalamnya antara sejumlah makna kebiasaan, dan pembuat
undang-undang tidak menjelaskan makna yang dikehendaaki dari lafad itu, maka
wajib dilakukan ijtihatuntuk menenukan maknanya. Tidaklah sah memaksudkan lebih
dari satu makna pada lafadz musytarak yang terdapat dalam nash, karena lafadz
musytarak tidaklah ditetapkan kecuali untuk satu makna saja, akan tetapi satu
makna itu berkisar antara dua makna atau lebih.
Jika lafadz musytarak yang ada dalam nash syara’ itu musytarak antara makna
kebahasaan dan makna terminologis syar’i, maka wajib dimaksudkan sebagai
maknanya yang bersifat terminologis syar’i. kata shalat misalnya ditetapkan
menurut bahasa untuk pengertian do’a, dan ia ditetapkan menurut syara’ untuk
ibadah tertentu. Maka dalam firman Allah SWT :
Artinya : “
dirikanlah shalat”
Yang dimaksud dari
lafadz itu adalah maknanya yang bersifat syar’i, yaitu ibadah tertentu. Bukan
makna kebahasaanya, yaitu do’a. kata Thalaq ditetapakan menurut bahasa untuk
melepaskan ikatan saja,dan menurut syara’ ia diletakkan untuk pelepasan ikatan
pernikahan yang shahih.
Maka yang
dikehendaki adalah makna secara syar’i bukan makna secara bahasanya saja.
Demikianlah lafadz mustarak antara makna lughowi dan makna secara syar’i
apabila dalam nash syar’i, maka maksud syar’i dari lafadz itu adalah makna yang
ditetapkan-Nya untuknya. Sebab ketika lafadz tersebut telah diindahkan dari
pengertaian kebahasaanya kepada pengertian khusus yang dipergunakannya, maka
lafadz itu dalam bahsa syar’i tertentu dalalahnya atas pengertian yang
ditetapakan syar’i kepadanya , demikian pula dalam nash perundang-undangan
hokum positif, apabila lafadz yang ada dalam nash mempunyai dua
makna yaitu makan dalam bahasa dan makan dalam terminologi
perundang-undangan, maka wajilah yang dikehendaki adalah pengertian yang
bersifat perundang-undangan, bukan kebahasaan, karena sebab yang telah kami
jelaskan.
Apabila lafadz musytarak dalam nash syar’i adalah musytarak antara sejumlah
mskna kebahasaan, mska wajib dilakukan ijtihat untuk menentukan makna yang
dikehendaki darpadanya, karena syar’i tidaklah menghendaki pada suatu lafadz
kecuali salah satu makna saja. Dan seorang mujtahid berkewajiban untuk
mengambil penunjuk dengan berbagai qarinah dan tanda-tanda serta dalil-dalil
untuk menetukan maksudnya itu.
Hal-hal diatas
dilakukan untuk tidak menimbulkan kebingungan pada masyarakat awam jika
menjumpai lafadz mustarak. Tidaklah sah menghendaki suatu lafadz musytarak
dengan dua makna atau lebih secara sekaligus, sekiranya hukum yang ada dalam
satu waktu karena sebenarnya suatu lafadz tidaklah dikehendaki oleh syar’i
kecuali padasatu makna saja dari beberapa maknanya. Penetapannya untuk beberapa
makna hanyalah dalam rangka pertukatan makna, artinya bahwa lafadz itu
adakalanya menunjukan arti itu. Adapun penunjukannya terhadap arti ini dan arti
itub sekaligus dalam satu waktu.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Al-Musytarak adalah sebuah lafadz yang mempunyai arti banyak dengan
kegunaan yang banyak pula. Seperti lafadz (السنة ) (tahun) yang bisa berarti tahun hijriah
atau miladiyah. Lafadz ( اليد ) (tangan) yang bisa berarti
tangan kanan dan juga bisa berarti tangan kiri.
Timbulnya lafadz musytarak dikarenakan Perbedaan beberap suku di dalam
lafadz-lafadz untuk menunjukkan beberapa arti. Suku bangsa arab terdiri dari
dua golongan yaitu golongan Adnan dan golongan Qathan. Dan antara kedua pengertian terdapat arti dasar
yang sama. mula-mula sesuatu lafal digunakan untuk sesuatu arti, kemudian
berpindah kepada arti yang lain dengan jalan majaz,
Lafal Musytarak tidak dapat menunjukkan salah satu artinya yang tertentu.
(dari arti-arti lafal musytarak) selama tidak ada hal-hal (qarinah) yang
menjelaskannya.
DAFTAR PUSTAKA
Karim, Syasi’i.
Fiqih Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia. 1997.
Wahab
Khallah, Abdul. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama. 1994.
Wahab
Khallaf, Abdul. Kaidah-kaidah Hukum islam.
Jakarta: PT Raja Grafindo. 1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar