Sebelum
membahas kepemimpinan profentik, peneliti menguraikan terlebih dahulupengertian
term dalam islam agar pemahaman dan konsep pembahasan tidak ambigu.secara
etimologi, kepemimpinan berasal dari kata dasar pemimpin. Dalam bahasa inggris
disebut leadership yang berarti kepemimpinan. Dari kata dasar leader
berarti pemimpin,[1] akar katanya to
lead yang mengandung beberapa arti yang saling berhubungan erat dengan:
bergerak lebih awal, berjalan di awal, mengambil langkah awal, berbuat paling
dulu, memelopori, mengarahkan pikiran, pendapat orang lain, membimbing,
menuntun dan menggerakan orang lain melalui pengaruhnya.[2]
Dalam bahasa indonesia istilah kepemimpinan berasal dari kata “pimpin”. Kata
pimpin yang diawali dengan “ke” dan diakhiri dengan “an” aadalah arti perihal
memipin.[3]
Menurut john D. Pfiffner &
Robert Presthus (1967), “Ieadership is the art of coordinating and motivatiang
individualis and group to achieve desred ends”. [4]
(Kemimpinan adalah seni mengkoordinasi dan memotivasi individu-individu serta
kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan), sedangkan menurut
martin J. Gannon (1982), ”Leadership is the ability of a superior to
influence the behaviour of subordinates; one of the behavioural in the
organization”[5](Kepemimpinan
adalah kemampuan seorang atasan mempengaruhi perilaku bawahanya; salah satu
prilaku dalam organisasi).
Dengan demikian, maka inti
pengertian kepemimpinan tersebut di atas bisa disimpulkan bahwan kepemimpinan
adalah kemampuan dalam proses mempengaruhi, mengkoordinasikan, menggerakan
segala komponen dalam suatu organisasi dalam upaya efektivitas dan efisiensi
untuk pencapaian tujuan organsisasi.
Sedangkan khazanah islam
kepemimpinan sejatinya sudah si sebutkan sejak manusia berada di muka bumi
dengan istilaj Khalifah Fi al’Ardh, disebabkan karena islam memandang
manusia sebagai pemimpin yakni wakil Allah SWT di muka bumi, memiliki
dasar-dasar yang sangat kuat dan kukuh, dibangun dengan nilai-nilai ilahiyah
(qauliyah) yang dikembangkan dan diperaktekan berabad-abad yang lalu oleh
Nabi Muhammad SAW, Khulafa’ al-Rosyidin dan tab;in.
Ada bebrapa paradigma yang sudah
lazin dipakai dalam Khazanah Islam dalam hal kepemimpinan yaitu: Khalifah,
Ulum Amri, Imam, Malik, Sultan, Mal ‘ Naqib, Sadah dan Qawwamun.
a.
Khalifah
Khalifah secara bahasa juga berarti pemimpin, penerus,
pengganti, pelanjut Nabi Muhammad SAW.[6]
Sdangkan menurut istilah Khalifah adalah pengganti orang lain, menempati
tempatnya dan mengambil posisinya baik karena absennya orang yang digantikan,
karena meninggalnya orang yang digantikan, maupun alasan-alasan yang lain.[7]
Kata Khalifah dalam al-qur’an disebut sebanyak 116 kali
dalam 12 yakni: Al-Baqarah (11x), Ali’Imran (7x), an- Nisa (3x), al-Maidah
(2x), al-Maidah (2x), al-An’am (4x),, al-A’raf (9x), al-Anfal (2x), at-Taubah
(8x), Yunus (8x), Hud (4x), ar-Ra’d (2x), Ibrahim (2x0, an-Nahl (7x), al-Isra
(1x), Maryam (4x), Taha (5x), al-Anbiya (1x), al-Hajj (3x), al-Mukminun (1x),
an-Nur (3x), al-Furqan (1x), asy-syu’ara (1x), an-naml (2x), ar-Rum (2x),
as-Sajadah (1x), Saba’ (2x), Fatir (4x), Yasin (2x), Sad (1x), az-Zumar (4x),
Fussilat (4x), asy-Syura (1x), az-Zukhruf (3x), al-Jasiyah (3x), al-Ahqaf (1x),
al-Fath (3x), az-Zariyyat (1x), al-Hadid (1x), al-Jin (1x), an-Naba (1x).[8]
Maknanya berkisar diantara kata kerja yakni menggantikan, meninggalkan atau
kata benda pengganti atau penerus. Sedangkan menurut ibn Khaldun, kekhalifahan
adalah memerintahkan rakyat sesuai dengan petunjuk Agama baik soal-soal
keakhiraran dan duniawi, sebab dalam pandangan pembuat undang-undang, semua
soal keduniawian ini harus dihukumi dari kepentingan hidup keakhiratan.[9]
Oleh karena itu hakekat khalifah atau kepemimpinan merupakan pengganti
Nabi Muhammad SAW sebagai penegak agama. Kata Khalifah kemudian dipakai
untuk menyebut para pemimpin Negara Islam.
Lafaz khalifah mengandung pengertian terhadap kepemimpinan
secara universal, baik manusia memimpin dirinya sendiri secara individu maupun
secara menyeluruh (komperhensif). Sebagaimana firman Allah SWT dalam
al-Qur’am surat Al-Baqarah, (2): 30;
وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ
خَلِيْفَةً قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَن يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ
وَ نَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَ نُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّيْ أَعْلَمُ مَا لاَ
تَعْلَمُوْن
Artinya : Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat :
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah” mereka berkata: Apakah Engkau hendak
menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan menumpahkan darah,
padahal kami selalu bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau ? Dia
berkata : “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”[10]
Dari ayar di atas bahwa
Allah SWT memakai kata khalifah ada kaitannya dengan pengertian khalifah yang
berarti pengganti, pemimpin atau penguasa. Manusia mengemban amanat
kekhalifahannya karena kemampuanya dalam berpikir dan mempergunakan
simbol-simbol komunikasi (al-asma’a kullaha). Al-Qurthubi menjelaskan bahwa
ayat di atas menjadi dalil wajibnya mengangkat khalifah (pemimpin) untuk
memutuskan perkara ditengah umat manusia dallam perkara yang mereka sengketakan
memutuskan perkara yang mereka perebutkan juga menolong orang yang teraniayya
dari orang yang menzaliminya, menegakkan hukum, mencegah berbagai perbuatan
keji dan perkara-perkara lainnya. Tidak mungkin ditegakkan kecuali dengan
adanya Imam (Pemimpin).[11]
Allah SWT menciptakan manusia sebagai khalifah (pemimpin) di muka
bumi ini yang di gambarkan kepada nabi Adam. Selanjutnya setelah nabi Adam
wafat, Allah SWT menciptakan khalifah dalam memimpin kaum berganti-ganti
dari generasi ke generasi sebagaimana setelah kaum ‘Ad. Kemudian Allah
menjadikan nabi Daud AS sebagai pemimpin di muka bumi dengan menegakan hukuman
secara adil. Dengan demikian pengertian khalifah mengidentifikasikan
manusia berfungsi sebagai khalifah di bumi, sebagai pengganti
kepemimpinan dari generasi kegenerasi berikutnya, serta sebagai kepala
pemerintahan.
Beberapa ulama memiliki bermacam0macam persepsi dan menafsirkan ayat
tersebut di atas. Menurut ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas Khalifah yang dimaksud Nabi Adam, dia adalah pemimpin
dari malaikat yang ada di bumi, atau dari jin bani al-Jan, atau Iblis dalam
menguasai bumi, atau dari kekuasaan Allah SWT. Sedangkan Muhammad Yusuf
al-Garnati menambahkan bahwa “para Nabi nerpakan pemimpin Allah di bumi, dan
Nabi Adam sebagai Bapaknya para pemimpin”
Begitu juga dalam hadits
Nabi Muhammad SAW secara jelas menyebutkan soal kepemimpinan dalam sebuah
sabdanya yang shahih;
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ
وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ
رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ
بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ
بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ
سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِه (رواه
مسلم)
Artinya:
Diriwayatkan Abdullah bin
Maslamah dari Malik dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin umar r.a berkata
: Saya telah mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin
dan akan di minta pertanggung jawaban atas kepemimpinannnya. Seorang
kepala negara akan diminta pertanggung jawaban perihal rakyat yang
dipimpinnya. Seorang suami akan di tanya perihal keluarga yang dipimpinnya.
Seorang istri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal
tanggung jawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang
bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang
dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan
jawab) dari hal-hal yang dipimpinnya. (
HR. Muslim)[12]
Dari hadits di atas secara jelas
menyebutkan bahwa manusia terlahir ke muka bumi sebagai pemimpin dan tugasnya
memelihara dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Bila rasulullah SAW,
mengatakan bahwa setiap orang ini adalah pemimpin, berarti manusia terlahir
dengan bakat memimpin. Jadi setiap manusia memiliki kewajiban untuk
mempengaruhi orang lain. Dengan demikian maka manusia yang menarik diri dari
pergaulan masyarakat untuk hidup menyendiri telah menentang qodratnya sebagai abdullah
dan khalifatullah di muka bumi.
Pada surat
Shad, (38): 26; disebutkan Allah SWT berfirman;
يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الأرْضِ فَاحْكُمْ
بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ
بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
Artinya : "Hai Daud,
sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah
keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil, dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. sesungguhnya
orang-orang yang sesat dari jalan Allah, akan mendapat azab yang berat, karena
mereka melupakan hari perhitungan." – (QS.38:26) [13]
Ayat
tersebut mengisyaratkan bahwa salah satu tugas dan kewajiban utama seorang khalifah
utama seorang adalah menegakan hukum secara al-haq. Seorang pemimpin
tidak boleh menjalan kepemimpinannya dengan mengikuti hawa nafsu. Karena tugas
kepemimpinan adalah tugas fi sabilillah dan kedudukan pun sangat mulia.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan islam adalah suatu kegiatan atau
kemampuan orang lain untuk mengarahkan dan memotivasi tingkah laku orang lain,
serta ada usaha kerja sama yang sesuaian dengan nilai-nilai al-Quran dan
al-haditst untukmencapai tujuan yang diinginkan bersama.
Dalam surat al-An’am, (6): 165;
Allah SWT berfirman;
وَهُوَ ٱلَّذِى
جَعَلَكُمْ خَلَٰٓئِفَ ٱلْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَٰتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ
فِى مَآ ءَاتَىٰكُمْ ۗ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ ٱلْعِقَابِ وَإِنَّهُۥ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌۢ
Artinya : Dan Dialah yang menjadikan
kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas
sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-An'am 6:165)[14]
Diantara
pontensi yang diberikan Allah SWT kepada manusia adalah kemampuan memimpin
untuk menjaga kelestarian alam yang diberikan Allah dan bertanggung jawab atas
apa yang dilakukannya,[15] selama di
dunia. Dalam konsep Islam, kepemimpinan dapat diartikan sebaggai sebuah konsep
interaksi , rela, proses otoritas, kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan
mengkoordinasi baik secara horizontal dan vertikal yang kemudian dalam teori
manajemen, fungsi pemimpin sebagai perencana dan pengambil keputusan (planning
and decision maker), pengorganisasian (organization), kepemimpinan
dan motivasi (leading and motivation), pengawasan (controling),
dan lain-lain.[16]
Dari berbagai definisi kepemimpinan menurut penafsiran Para Ulama’ di atas
memiliki konotasi general (umum), bisa pemimpin Negara, Organisasi
politik, organisasi sosial, perusahaan maupun pendidikan.
b. Ulul Amri
Istilah Ulul
Amri dapat diartikan sebagai pemilik kekuasaan dan pemilik hak untuk
memerintahkan sesuatu. Seseorang yang memiliki kekuasaan untuk memrintahkan
sesuatu berarti yang bersangkutan memiliki kekuasaan untuk mengatur dan
mengandalkan keadaan.[17] Dalam
al-Qur’an lafaz Ulul Amri hanya disebutkan dua kali yakni di surat
an-Nisa’ ayat 59 dan ayat 83, ulil Amri terdiri dari dua kata, yakni
kata ulu (mempunyai, pemilik) dan amri (menyuruh, memerintah) dan
bila digabung menjadi ulil amri mengandung ari penguasa/ulama’,
sebagaimana firmana Allah dalam surat an-Nisa ayat 59;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا
Artinya : Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.[18]
Sebagian
ulama lain, masih dalam kitab tafsir yang sama, bahwa ulil amri itu
adalah ahlul wal fiqh (mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan akan
fiqh). Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa sahabat-sahabat rosulullah
yang dimaksud dengan ulil Amri. Sebagian lainnya berpendapat ulil amri itu adalah Abu Bakar Ash Shidiq dan Umar Bin Khattab. Sedangkan
menuruut al-Baidawi, pemerintah pada zama rosulullah dan masa sesudahnya telah
megakui eksistensinya, pemerintah disini berupa para khalifah, para hakim, maka
dianjurkan untuk patuh dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya.[19]
Al-Mawardi, menyebutkan ada empat pendapat
dalam mengartikan kalimat “ulul amri” pada
ayat di atas. Pertama, ulil amri
bermakna umara (Para Pemimpin yang
konotasinya adalah pemimpin masalah keduniaan). Ini merupakan pendapat ibn
abbas, as-Sa’dy dab abu hurairah serta ibnu Zaid, Imam Al-Mawardi memberi
catatan bahwa walaupun mereka mengartikannya dengan umara namun mereka berbeda
pendapat dalam sebab turunnya ayat ini.
Ibn Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun
berkenaan dengan Abdullah bin huzafah bin Qays as-Samhi Ketika rasul
mengangkatnya menjadi pemimpin dalam sariyah
(perang yang tidak diikutin oleh Rasulullah SAW). Sedangkan As-Sa’dy
berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Amr bin Yasir dab Khalid bin
Walid ketika keduanya diangkat oleh rosul sebagai pemimpin dalam sariyah. Kedua ulil amri itu
maknanya adalah ulama dan fuqaha. Ini
menurut pendapat Jabir bin abdullah, al-hasan, atha dan abi al-aliyah. Ketiga, pendapat dari mujahid yang
mengatakan bahwa ulil amri iitu
adalah sahabat-sahabat rasulullah SAW. Keempat, yang
berasal dari Ikrimah, lebih menyempitkan makna ulil amri hanya
kepada dua sahabat saja yaitu Abu Bakar Ash Shidiq dan Umar Bin Khattab.
Dari ayat tersebut mengidentifikasikan
akan eksistensi kepemimpinan yang sangat kuat terkait dengan kepemimpinan Tuhan
dan Rasulnya, Sehingga setelah Rosulullah SAW wafat maka Ulil Amri sebagai rujukan dalam menghadapi masalah serta menjadi kewajiban
untuk selalu ditaati. Dan kalau seeandainya mereka menyerahkan urusan
merekakepada rasull dan ulil Amri, niscaya orang-orang yang
inginmengetahui kebenarannya, dapat mengetahui dari rosul atau Ulil Amri
sebagai estafet kepemimpinan Nabi, yang akan selalu ada dari generasi ke
generasi.
c.
Imam
Kata Imam atau imamah berasal
dari kata akar kata yang berakar dari
huruf hamzah dan mim, keuda huruf tersebut mempunyai banyak arti,
diantaranya ialah pokok, tempat kembali, jama’ah dan maksud.[20]
Lafaz imam dalam al-Quran sebanyak 25 dalam 18 surah yakni: Al-Baqaeah
(1x), al-An’am (2x), al-A’rif (3x), at-Taubah (1x), Huud (3x), ar- Ra’d (1x),
al-Hajr (1x), an-Nahl (1x), al-Isr’a (1x), al-Anbiy’ (1x), a;-Furqan (1x),
al-Qasas (2x), al-Ankabut (1x), as-Sajdah (1x), Fatir (1x), Yasin (1x),
Fussilat (1x), ak-Ahqaf (2x).
Para ulama mendefinisikan kata imam
sebagai orang yang dapat diikuti dan ditampilkan ke depan dalam berbagai
permasalahan dan urusan baik yang bersifat duniawi lebih-lebih ranah ikhrowi.
d. Al-Malik
Sedangkan untuk
term al-malik bermakna seseorang yang mempunyai kewenangan untuk
memerintahkan sesuatu dan melarang sesuatu dalam kaitan dengan sebuah
pemerintahan.[21]sehingga inti
dari pada paradigma kepemimpinan di atas mengandung persamaan pada ranah
menuntun atau memobilisasi sejulah manusia untuk mencapai tujuan bersama yang
di ridhai Allah SWT. Artinya, paradigma tersebut bermuara pada pengabdian
manusia terhadap sang pencipta-nya dalam menggapai kebahagiaan dunia dan
akhirat. Dalam hal ini, islam mengarahkan kepemimpinan pada prinsip-prinsip
kempemimpinan islam, yaitu amanah, adil, syura’ (musyawarah), dan amar
ma;ruf nahi munkar yang harus diaplikasikan dalam perilaku kepemimpinan.
[1]
Hendro dermawan, dkk, kamus ilmiyah populer lengkap (Yogyakarta: Bintang
Cemerlang, 2013), hlm. 204
[2]
Baharuddin dan umiarso, kepemimpinan pendidikan islam, hlm, 47
[3]
M. Walid, Kepemimpinan Spiritual Kharismatik, (Telah kritisi Terhadap
Kepemimpinan KH. Achmad Muzakki Syah Pengasuh Pondok Pesantren A;-Qodiri,
“Jurnal Sekolah Tinggi Al- Falah As- Sunniyah Kecong Jember, tt, hlm. 23.
[4]
Jonh D. Pfiffner & Robert Presthus, public administration, (New
York: The ronald press, 1967), hlm. 88.
[5]
Martin J. Gannon, Management An Integrated framework, Edisi
ke-2,(Canada: McGraw-Hill International Book Company, 1982), hlm. 574
[6]
Hendri Darmawan, Kamus, hlm. 209
[7]
Ayatullah Muhammad Baqir Hakim, Ulumul Qur’an, Trej. Nashirul Haq DKK.
(Jakarta: Al-Huda, 2006), hlm. 672.
[8]
M.Tuwah, dkk, islam humanisI, (Jakarta: PT. Moyo segoro agung, 2002),
hlm. 2
[9]
Ibn Khaldun, Mukaddimah, hlm. 234,; maimoen zubair, Sejarah Tasyri’
Islam Periodesasi legeslasi islam dalam bingkai sejarah, (Lirboyo: FPII,
2006), hlm 103.
[10]
Departemen Agama RI, Al- Hikmah: al-Qur’an dan terjemahnya, hlm. 6.
[11]
Shafiyyurragman Al-Mubarakfuri, shahih tafsir ibnu katsir, jilid 1
(bogor: Pustaka Inu Katsir, 2006), hlm. 202
[12]
Muhammad bin Ismail Al-bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar Al-Kitab
Al-Islamiyah, 1430), hlm. 167.; abul husain muslim bin al hajjaj an-Naisabury, Shahih
Muslim, (Riyadh: Maktabah Arabiyah Ash-Su’udiyah, 1429), hlm. 525.
[13]
Departemen Agama RI, Al- Hikmah: al-Qur’an dan terjemahnya, hlm. 454.
[14]
Departemen Agama RI, Al- Hikmah: al-Qur’an dan terjemahnya, hlm. 150.
[15]
Moh. Haitami Salim & Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam,
(jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 98.
[16]
Aunur Rahim Fakih, dkk, kepemimpinan Islam, (Yogyakarta: UII Press,
2001), hlm. 3-4
[17]
Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Quran, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada. 2004), hlm. 231
[18]
Departemen Agama RI, Al- Hikmah: al-Qur’an dan terjemahnya, hlm. 87.
[19]
Nashiruddin Abi Sa’ad Abdullah Abi ‘Iumar Ibn Muhammad Syairaziy al- Baidhowi, Tafsiru
al-Baidawi; Anwarul al-Tnasil wa Asraru al-Ta’wil, (Beirut: Dar al-fikr,
1996), hlm. 206.
[20]
Abi al-Husain Ahmad Ibn Fariz Zakariyya, Mu’jam Maqayis al-Lughah juz II,
(ttp: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 21
[21]
Abi al-Husain Ahmad Ibn Fariz Zakariyya, mu’jam maqayis, hlm. 351.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar