Minggu, 26 November 2017

PARADIGMA KEPEMIMPINAN DALAM RANAH NILAI-NILAI KEISLAMAN

Paradigma kepemimpinan dalam islam
Sebelum membahas kepemimpinan profentik, peneliti menguraikan terlebih dahulupengertian term dalam islam agar pemahaman dan konsep pembahasan tidak ambigu.secara etimologi, kepemimpinan berasal dari kata dasar pemimpin. Dalam bahasa inggris disebut leadership yang berarti kepemimpinan. Dari kata dasar leader berarti pemimpin,[1] akar katanya to lead yang mengandung beberapa arti yang saling berhubungan erat dengan: bergerak lebih awal, berjalan di awal, mengambil langkah awal, berbuat paling dulu, memelopori, mengarahkan pikiran, pendapat orang lain, membimbing, menuntun dan menggerakan orang lain melalui pengaruhnya.[2] Dalam bahasa indonesia istilah kepemimpinan berasal dari kata “pimpin”. Kata pimpin yang diawali dengan “ke” dan diakhiri dengan “an” aadalah arti perihal memipin.[3]
            Menurut john D. Pfiffner & Robert Presthus (1967), “Ieadership is the art of coordinating and motivatiang individualis and group to achieve desred ends”. [4] (Kemimpinan adalah seni mengkoordinasi dan memotivasi individu-individu serta kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan), sedangkan menurut martin J. Gannon (1982), ”Leadership is the ability of a superior to influence the behaviour of subordinates; one of the behavioural in the organization”[5](Kepemimpinan adalah kemampuan seorang atasan mempengaruhi perilaku bawahanya; salah satu prilaku dalam organisasi).
            Dengan demikian, maka inti pengertian kepemimpinan tersebut di atas bisa disimpulkan bahwan kepemimpinan adalah kemampuan dalam proses mempengaruhi, mengkoordinasikan, menggerakan segala komponen dalam suatu organisasi dalam upaya efektivitas dan efisiensi untuk pencapaian tujuan organsisasi.
            Sedangkan khazanah islam kepemimpinan sejatinya sudah si sebutkan sejak manusia berada di muka bumi dengan istilaj Khalifah Fi al’Ardh, disebabkan karena islam memandang manusia sebagai pemimpin yakni wakil Allah SWT di muka bumi, memiliki dasar-dasar yang sangat kuat dan kukuh, dibangun dengan nilai-nilai ilahiyah (qauliyah) yang dikembangkan dan diperaktekan berabad-abad yang lalu oleh Nabi Muhammad SAW, Khulafa’ al-Rosyidin dan tab;in.
            Ada bebrapa paradigma yang sudah lazin dipakai dalam Khazanah Islam dalam hal kepemimpinan yaitu: Khalifah, Ulum Amri, Imam, Malik, Sultan, Mal ‘ Naqib, Sadah dan Qawwamun.
a.       Khalifah
Khalifah  secara bahasa juga berarti pemimpin, penerus, pengganti, pelanjut Nabi Muhammad SAW.[6] Sdangkan menurut istilah Khalifah adalah pengganti orang lain, menempati tempatnya dan mengambil posisinya baik karena absennya orang yang digantikan, karena meninggalnya orang yang digantikan, maupun alasan-alasan yang lain.[7]
Kata Khalifah dalam al-qur’an disebut sebanyak 116 kali dalam 12 yakni: Al-Baqarah (11x), Ali’Imran (7x), an- Nisa (3x), al-Maidah (2x), al-Maidah (2x), al-An’am (4x),, al-A’raf (9x), al-Anfal (2x), at-Taubah (8x), Yunus (8x), Hud (4x), ar-Ra’d (2x), Ibrahim (2x0, an-Nahl (7x), al-Isra (1x), Maryam (4x), Taha (5x), al-Anbiya (1x), al-Hajj (3x), al-Mukminun (1x), an-Nur (3x), al-Furqan (1x), asy-syu’ara (1x), an-naml (2x), ar-Rum (2x), as-Sajadah (1x), Saba’ (2x), Fatir (4x), Yasin (2x), Sad (1x), az-Zumar (4x), Fussilat (4x), asy-Syura (1x), az-Zukhruf (3x), al-Jasiyah (3x), al-Ahqaf (1x), al-Fath (3x), az-Zariyyat (1x), al-Hadid (1x), al-Jin (1x), an-Naba (1x).[8] Maknanya berkisar diantara kata kerja yakni menggantikan, meninggalkan atau kata benda pengganti atau penerus. Sedangkan menurut ibn Khaldun, kekhalifahan adalah memerintahkan rakyat sesuai dengan petunjuk Agama baik soal-soal keakhiraran dan duniawi, sebab dalam pandangan pembuat undang-undang, semua soal keduniawian ini harus dihukumi dari kepentingan hidup keakhiratan.[9] Oleh karena itu hakekat khalifah atau kepemimpinan merupakan pengganti Nabi Muhammad SAW sebagai penegak agama. Kata Khalifah kemudian dipakai untuk menyebut para pemimpin Negara Islam.
Lafaz khalifah mengandung pengertian terhadap kepemimpinan secara universal, baik manusia memimpin dirinya sendiri secara individu maupun secara menyeluruh (komperhensif). Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’am surat Al-Baqarah, (2): 30;
وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَن يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَ نَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَ نُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّيْ أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْن

Artinya : Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah”  mereka berkata: Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan menumpahkan darah, padahal kami selalu bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau ? Dia berkata : “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”[10]
            Dari ayar di atas bahwa Allah SWT memakai kata khalifah  ada kaitannya dengan pengertian khalifah yang berarti pengganti, pemimpin atau penguasa. Manusia mengemban amanat kekhalifahannya karena kemampuanya dalam berpikir dan mempergunakan simbol-simbol komunikasi (al-asma’a kullaha). Al-Qurthubi menjelaskan bahwa ayat di atas menjadi dalil wajibnya mengangkat khalifah (pemimpin) untuk memutuskan perkara ditengah umat manusia dallam perkara yang mereka sengketakan memutuskan perkara yang mereka perebutkan juga menolong orang yang teraniayya dari orang yang menzaliminya, menegakkan hukum, mencegah berbagai perbuatan keji dan perkara-perkara lainnya. Tidak mungkin ditegakkan kecuali dengan adanya Imam (Pemimpin).[11]
Allah SWT menciptakan manusia sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi ini yang di gambarkan kepada nabi Adam. Selanjutnya setelah nabi Adam wafat, Allah SWT menciptakan khalifah dalam memimpin kaum berganti-ganti dari generasi ke generasi sebagaimana setelah kaum ‘Ad. Kemudian Allah menjadikan nabi Daud AS sebagai pemimpin di muka bumi dengan menegakan hukuman secara adil. Dengan demikian pengertian khalifah mengidentifikasikan manusia berfungsi sebagai khalifah di bumi, sebagai pengganti kepemimpinan dari generasi kegenerasi berikutnya, serta sebagai kepala pemerintahan.
Beberapa ulama memiliki bermacam0macam persepsi dan menafsirkan ayat tersebut di atas. Menurut ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas Khalifah  yang dimaksud Nabi Adam, dia adalah pemimpin dari malaikat yang ada di bumi, atau dari jin bani al-Jan, atau Iblis dalam menguasai bumi, atau dari kekuasaan Allah SWT. Sedangkan Muhammad Yusuf al-Garnati menambahkan bahwa “para Nabi nerpakan pemimpin Allah di bumi, dan Nabi Adam sebagai Bapaknya para pemimpin”
            Begitu juga dalam hadits Nabi Muhammad SAW secara jelas menyebutkan soal kepemimpinan dalam sebuah sabdanya yang shahih;
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِه (رواه مسلم)
Artinya:
Diriwayatkan Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin umar r.a berkata : Saya telah mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan di minta pertanggung jawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggung jawaban  perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan di tanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang istri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggung jawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) dari hal-hal yang dipimpinnya. ( HR. Muslim)[12]
            Dari hadits di atas secara jelas menyebutkan bahwa manusia terlahir ke muka bumi sebagai pemimpin dan tugasnya memelihara dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Bila rasulullah SAW, mengatakan bahwa setiap orang ini adalah pemimpin, berarti manusia terlahir dengan bakat memimpin. Jadi setiap manusia memiliki kewajiban untuk mempengaruhi orang lain. Dengan demikian maka manusia yang menarik diri dari pergaulan masyarakat untuk hidup menyendiri telah menentang qodratnya sebagai abdullah dan khalifatullah di muka bumi.
            Pada surat Shad, (38): 26; disebutkan Allah SWT berfirman;
يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الأرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
Artinya : "Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah, akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan." – (QS.38:26) [13]
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa salah satu tugas dan kewajiban utama seorang khalifah utama seorang adalah menegakan hukum secara al-haq. Seorang pemimpin tidak boleh menjalan kepemimpinannya dengan mengikuti hawa nafsu. Karena tugas kepemimpinan adalah tugas fi sabilillah dan kedudukan pun sangat mulia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan islam adalah suatu kegiatan atau kemampuan orang lain untuk mengarahkan dan memotivasi tingkah laku orang lain, serta ada usaha kerja sama yang sesuaian dengan nilai-nilai al-Quran dan al-haditst untukmencapai tujuan yang diinginkan bersama.
Dalam surat al-An’am, (6): 165; Allah SWT berfirman;
وَهُوَ ٱلَّذِى جَعَلَكُمْ خَلَٰٓئِفَ ٱلْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَٰتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِى مَآ ءَاتَىٰكُمْ ۗ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ ٱلْعِقَابِ وَإِنَّهُۥ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌۢ
Artinya : Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-An'am 6:165)[14]
Diantara pontensi yang diberikan Allah SWT kepada manusia adalah kemampuan memimpin untuk menjaga kelestarian alam yang diberikan Allah dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya,[15] selama di dunia. Dalam konsep Islam, kepemimpinan dapat diartikan sebaggai sebuah konsep interaksi , rela, proses otoritas, kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi baik secara horizontal dan vertikal yang kemudian dalam teori manajemen, fungsi pemimpin sebagai perencana dan pengambil keputusan (planning and decision maker), pengorganisasian (organization), kepemimpinan dan motivasi (leading and motivation), pengawasan (controling), dan lain-lain.[16] Dari berbagai definisi kepemimpinan menurut penafsiran Para Ulama’ di atas memiliki konotasi general (umum), bisa pemimpin Negara, Organisasi politik, organisasi sosial, perusahaan maupun pendidikan.
b.      Ulul Amri
Istilah Ulul Amri dapat diartikan sebagai pemilik kekuasaan dan pemilik hak untuk memerintahkan sesuatu. Seseorang yang memiliki kekuasaan untuk memrintahkan sesuatu berarti yang bersangkutan memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengandalkan keadaan.[17] Dalam al-Qur’an lafaz Ulul Amri hanya disebutkan dua kali yakni di surat an-Nisa’ ayat 59 dan ayat 83, ulil Amri terdiri dari dua kata, yakni kata ulu (mempunyai, pemilik) dan amri (menyuruh, memerintah) dan bila digabung menjadi ulil amri mengandung ari penguasa/ulama’, sebagaimana firmana Allah dalam surat an-Nisa ayat 59;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[18]
      Sebagian ulama lain, masih dalam kitab tafsir yang sama, bahwa ulil amri itu adalah ahlul wal fiqh (mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan akan fiqh). Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa sahabat-sahabat rosulullah yang dimaksud dengan ulil Amri. Sebagian lainnya berpendapat ulil amri itu adalah Abu Bakar Ash Shidiq dan Umar Bin Khattab. Sedangkan menuruut al-Baidawi, pemerintah pada zama rosulullah dan masa sesudahnya telah megakui eksistensinya, pemerintah disini berupa para khalifah, para hakim, maka dianjurkan untuk patuh dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya.[19]
      Al-Mawardi, menyebutkan ada empat pendapat dalam mengartikan kalimat “ulul amri” pada ayat di atas. Pertama, ulil amri bermakna umara (Para Pemimpin yang konotasinya adalah pemimpin masalah keduniaan). Ini merupakan pendapat ibn abbas, as-Sa’dy dab abu hurairah serta ibnu Zaid, Imam Al-Mawardi memberi catatan bahwa walaupun mereka mengartikannya dengan umara namun mereka berbeda pendapat dalam sebab turunnya ayat ini.
      Ibn Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin huzafah bin Qays as-Samhi Ketika rasul mengangkatnya menjadi pemimpin dalam sariyah (perang yang tidak diikutin oleh Rasulullah SAW). Sedangkan As-Sa’dy berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Amr bin Yasir dab Khalid bin Walid ketika keduanya diangkat oleh rosul sebagai pemimpin dalam sariyah. Kedua ulil amri itu maknanya adalah ulama dan fuqaha. Ini menurut pendapat Jabir bin abdullah, al-hasan, atha dan abi al-aliyah. Ketiga, pendapat dari mujahid yang mengatakan bahwa ulil amri iitu adalah sahabat-sahabat rasulullah SAW. Keempat, yang berasal dari Ikrimah, lebih menyempitkan makna ulil amri hanya kepada dua sahabat saja yaitu Abu Bakar Ash Shidiq dan Umar Bin Khattab.
      Dari ayat tersebut mengidentifikasikan akan eksistensi kepemimpinan yang sangat kuat terkait dengan kepemimpinan Tuhan dan Rasulnya, Sehingga setelah Rosulullah SAW wafat maka Ulil Amri sebagai rujukan dalam menghadapi masalah serta menjadi kewajiban untuk selalu ditaati. Dan kalau seeandainya mereka menyerahkan urusan merekakepada rasull dan ulil Amri, niscaya orang-orang yang inginmengetahui kebenarannya, dapat mengetahui dari rosul atau Ulil Amri sebagai estafet kepemimpinan Nabi, yang akan selalu ada dari generasi ke generasi.
c.       Imam
Kata Imam atau imamah berasal dari kata akar kata yang berakar dari huruf hamzah dan mim, keuda huruf tersebut mempunyai banyak arti, diantaranya ialah pokok, tempat kembali, jama’ah dan maksud.[20] Lafaz imam dalam al-Quran sebanyak 25 dalam 18 surah yakni: Al-Baqaeah (1x), al-An’am (2x), al-A’rif (3x), at-Taubah (1x), Huud (3x), ar- Ra’d (1x), al-Hajr (1x), an-Nahl (1x), al-Isr’a (1x), al-Anbiy’ (1x), a;-Furqan (1x), al-Qasas (2x), al-Ankabut (1x), as-Sajdah (1x), Fatir (1x), Yasin (1x), Fussilat (1x), ak-Ahqaf (2x).
            Para ulama mendefinisikan kata imam sebagai orang yang dapat diikuti dan ditampilkan ke depan dalam berbagai permasalahan dan urusan baik yang bersifat duniawi lebih-lebih ranah ikhrowi.
d.      Al-Malik
Sedangkan untuk term al-malik bermakna seseorang yang mempunyai kewenangan untuk memerintahkan sesuatu dan melarang sesuatu dalam kaitan dengan sebuah pemerintahan.[21]sehingga inti dari pada paradigma kepemimpinan di atas mengandung persamaan pada ranah menuntun atau memobilisasi sejulah manusia untuk mencapai tujuan bersama yang di ridhai Allah SWT. Artinya, paradigma tersebut bermuara pada pengabdian manusia terhadap sang pencipta-nya dalam menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam hal ini, islam mengarahkan kepemimpinan pada prinsip-prinsip kempemimpinan islam, yaitu amanah, adil, syura’ (musyawarah), dan amar ma;ruf nahi munkar yang harus diaplikasikan dalam perilaku kepemimpinan.



[1] Hendro dermawan, dkk, kamus ilmiyah populer lengkap (Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2013), hlm. 204
[2] Baharuddin dan umiarso, kepemimpinan pendidikan islam, hlm, 47
[3] M. Walid, Kepemimpinan Spiritual Kharismatik, (Telah kritisi Terhadap Kepemimpinan KH. Achmad Muzakki Syah Pengasuh Pondok Pesantren A;-Qodiri, “Jurnal Sekolah Tinggi Al- Falah As- Sunniyah Kecong Jember, tt, hlm. 23.
[4] Jonh D. Pfiffner & Robert Presthus, public administration, (New York: The ronald press, 1967), hlm. 88.
[5] Martin J. Gannon, Management An Integrated framework, Edisi ke-2,(Canada: McGraw-Hill International Book Company, 1982), hlm. 574
[6] Hendri Darmawan, Kamus, hlm. 209
[7] Ayatullah Muhammad Baqir Hakim, Ulumul Qur’an, Trej. Nashirul Haq DKK. (Jakarta: Al-Huda, 2006), hlm. 672.
[8] M.Tuwah, dkk, islam humanisI, (Jakarta: PT. Moyo segoro agung, 2002), hlm. 2
[9] Ibn Khaldun, Mukaddimah, hlm. 234,; maimoen zubair, Sejarah Tasyri’ Islam Periodesasi legeslasi islam dalam bingkai sejarah, (Lirboyo: FPII, 2006), hlm 103.
[10] Departemen Agama RI, Al- Hikmah: al-Qur’an dan terjemahnya, hlm. 6.
[11] Shafiyyurragman Al-Mubarakfuri, shahih tafsir ibnu katsir, jilid 1 (bogor: Pustaka Inu Katsir, 2006), hlm. 202
[12] Muhammad bin Ismail Al-bukhari,  Shahih Bukhari, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Islamiyah, 1430), hlm. 167.; abul husain muslim bin al hajjaj an-Naisabury, Shahih Muslim, (Riyadh: Maktabah Arabiyah Ash-Su’udiyah, 1429), hlm. 525.
[13] Departemen Agama RI, Al- Hikmah: al-Qur’an dan terjemahnya, hlm. 454.
[14] Departemen Agama RI, Al- Hikmah: al-Qur’an dan terjemahnya, hlm. 150.
[15] Moh. Haitami Salim & Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, (jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 98.
[16] Aunur Rahim Fakih, dkk, kepemimpinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 3-4
[17] Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Quran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004), hlm. 231
[18] Departemen Agama RI, Al- Hikmah: al-Qur’an dan terjemahnya, hlm. 87.
[19] Nashiruddin Abi Sa’ad Abdullah Abi ‘Iumar Ibn Muhammad Syairaziy al- Baidhowi, Tafsiru al-Baidawi; Anwarul al-Tnasil wa Asraru al-Ta’wil, (Beirut: Dar al-fikr, 1996), hlm. 206.
[20] Abi al-Husain Ahmad Ibn Fariz Zakariyya, Mu’jam Maqayis al-Lughah juz II, (ttp: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 21
[21] Abi al-Husain Ahmad Ibn Fariz Zakariyya, mu’jam maqayis, hlm. 351.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar